Cerita Seorang Teman
Oleh Nuraini Ahwan
Bercerita ia tentang hidupnya, sampai kepada cerita tentang anak-anaknya. Aku hanya mendengarkan seakan aku ada diposisinya. Ia memulai ceritanya hingga akhirnya ia menghentiian ceritanya. Sekali-sekali ia menghela napasnya, menyeka matanya dengan punggung tangannya. Rupanya telaga yang awalnya tenang kini bergelombang hingga akhirmya ada air meleleh di sudut telaga.
Aku membiarkannya saja terus bercerita meskipun perkataannya kadang tak begitu jelas karena terbata-bata. Hingga akhirnya aku tak lagi menatapnya saat bercerita. Aku menggenggam tangannya ingin menguatkan hati seorang ibu, sebagaimana aku yang juga seorang ibu. Aku memposisikan diriku di posisi temanku itu.
Ia bercerita, bagaimana sayangnya ia pada anak-anaknya. Aku percaya itu, karena aku juga sangat sayang pada anak-anakku melebihi sayangku pada diriku sendiri. Ia menangis ketika ia mengatakan dirinya menyesal karena ia tak mampu membuat anak-anaknya bahagia, ia marah pada dirinya sendiri karena ia berkata salah pada anak-anaknya. Perkataan yang keluar dari mulutnya tanpa kontrol emosi yang bagus.
Kalimat yang membuat hati anaknya terluka, hingga temanku ini menyesal berhari-hari, menangis ditengah malam, bahkan ada rasa sakit di dadanya yang ia rasakan. Lepas dari itu, tak sedikitpun ia menganggap itu adalah kesalahan anak-anaknya. Ia selalu menganggap bahwa ia yang salah dan anak-anaknya tak pernah salah. Anak-anaknya adalah anak yang baik, sholehah san sholeh.
Temanku mengakui bahwa ia yang belum mengenal perangai anaknya masing-masing. Ia bahkan lupa kalau anak-anaknya sudah besar, punya pemikiran sendiri dan punya keputusan sendiri. Ia masih saja menganggap anak-anaknya masih belia, masih bisa disuguhkan dengan kalimat, kata, dan sekian aturan yang kadang tidak sesuai dengan pola hidup anak-anak yang sudah tidak anak-anak lagi.
Sesenggukan mewarnai tangis temanku ini, ketika sampai pada kata-kata," Bagaimana aku mengangkat atau mencabut kembali semua kesalahanku. Bagaimana aku memperbaiki hununganku kembali dengan anakku?"
Aku memperbaiki tempat dudukku, dan ku dekap temanku itu. Aku meyakinkan dia bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tak ada seorang pun ibu yang berdoa jelek untuk anak-anaknya. Seorang ibu ingin mengorbankan seluruh hidupnya untuk anak-anaknya. Hanya saja.mungkin anak-anak belum mengerti dan memahami apa yang ada dihati seorang ibu. Seorang anak akan mengetahui bagaimana rasanya menjadi seorang ibu setelah ia menjadi ibu kelak.
Ketika dulu, aku merasa ibuku tak adil padaku, merasa ibuku pelit padaku atau juga aku kesal demgan ibuku ketika ibu marah padaku, ketika ibuku kadang mengatakan kalau aku jangan pulang karena main lewat waktu dan aku protes pada ibuku, maka tak jarang ibuku mengatakan,"
"Kamu boleh bicara apapun sekarang, protes apa saja sekarang karena kamu belum tahu rasanya menjadi seorang ibu. Besok kalau kamu sudah menjadi seorang ibu, barulah kamu akan tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Bagimana rasanya, sayanganya ibu padamu."
Seperti itulah ucapan ibuku dulu.
Temanku terdiam dan akhirnya ia mengatakan bahwa dirinya belum memahami sepenuhnya karakter anak-anaknya. Ia berjanji akan membatasi setiap kalimat yang akan dikatakan pada anak-anaknya. Ia akan mengontrol setiap emosi yang akan memancing rapuhnya hubungannya dengan anak-anaknya.
Di akhir ceritanya, temanku mengucapkan kalimat sepertinya doa atas penyesalannya
" Ya, Allah, angkatlah semua kalimat dan kata-kata hamba yang salah pada anak -anak hamba. Buanglah kata-kata hamba yang salah, ijabah kata -kata hamba yang baik ya Allah, dan ampuni dosa anak anak hamba. Mereka tak pernah menyakiti hati hamba ya Allah."
Tak sedikit pun ia bermaksud melukai atau menyakiti hati anak-anaknya. tetapi terkadang ia terlalu protektif terhadap anak-anaknya.
Lombok, 23 September 2020
Terkadang sebagai anak, kita juga memikirkan kesalahan yang sudah kita perbuat kepada orang tua, terutama ibu. Palagi sampe membuatnya sedih dan menangis. Merasa bersalah rasanya.
BalasHapusKeren blog nya bun
Sudah ada variasi yg lain.
begitulah dinamikan hidup sebagai orang tua dalam rumah tangga.
BalasHapusMantap ceritanya.
Terima kasih pak Roni, pujangga dari belahan timur negeri
HapusMantap ceritanya ibu..... Bikin ikut 😢
BalasHapusTerima kasih bu guru yanti
HapusSebagai orang tua.kita.memang harus cerdas dan pandai menahan emosi..jangan.sampai lepass konyrol
BalasHapusTerima kasih bun, benar . Kontrol yg baik
BalasHapusSetiap perkataan dan kalimat yang terlontardari lisan orang tua bisa jadi adalah doa. Seabagai ortu mesti bisa sabar dan kontrol dalam berkata kata.
BalasHapusMantab bunda.
Tulisan yang membuat jd introspeksi diri...
BalasHapus