Luka Yang Tak Pernah Kau Rasa.

Oleh Nuraini Ahwan.

Pagi ini, saya berangkat ke sekolah di waktu yang boleh dikatakan pagi buta. Suasana masih sedikit seperti berawan karna masih agak gelap, matahari belum begitu tinggi. Saya tinggalkan rumah sepagi ini karena hari ini hari pertama masuk sekolah.

Senin, 9 Nopember 2020, sekolah kami mendapat izin membuka sekolah di masa new normal atau masa tatanan baru. Ini awal dilaksanakannya pembelajaran tatap muka. Pembelajaran yang didambakan oleh sebagian besar siswa tak terkecuali orang tua. 

Meninggalkan rumah sepagi ini tentu tetap dengan kebiasaan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga. Siapa pun yang meninggalkan rumah lebih awal atau lebih dahulu, maka ia akan berpamitan dengan cara bersalaman kepada  seluruh anggota keluarga. Begitu juga yang saya lakukan pagi ini.  Bersalaman dengan ayahnya anak-anak, anak sulung dan terakhir bersalaman dengan anak bungsu. 

Ketika sampai di ruang tamu ternyata si bungsu telah menunggu. Ia duduk di kursi untuk sekedar menyampaikan permintaannya pada saya pagi ini.  Ia minta saya untuk izin dari sekolah. Meminta saya untuk pulang sebentar sekedar melihatnya berangkat menyongsong masa depannya. Putra bungsu saya segera menyalami ketika melihat saya hendak berangkat. 

Saya tertegun,  ketika tangan yang saya pegang tidak seperti tangan kebanyakan anak seusianya. Tangan halus, dan lembut. Tetapi tangan yang saya pegang, saya genggam pagi ini adalah tangan si bungsuku yang tak pernah ku tahu sebelumnya,"Kenapa tanganmu, nak?" Tanya saya saat itu. Nada pertanyaan saya agak pelan sehingga nyaris tak terdengar oleh si bungsu.  Saya kaget karena telapak tangan si bungsu seperti ada luka. Ia tak pernah mengeluh dan tak pernah memberi tahu kalau tangannya seperti itu. Layaknya telapak tangan pekerja berat, kuli bangunan atau pekerja lainnya yang  semacam itu.

Beruntung pertanyaan saya tak didengar, karena bulir-bulir bening merambah disudut  mata dan sudah mengakhiri pertanyaan saya. Segera saja saya melangkah meninggalkan si bungsu sebelum ia menyaksikan orang yang dimintai doa setiap saat ini menangis di depannya.  Segera saja saya mengiyakan permintaannya untuk pulang jam 08.00. 

Saya jadi bertanya-tanya dalam hati kecil ini. Sekeras itukah latihanmu nak, demi masa depanmu.  Tak jarang saya memaksa si bungsu untuk latihan tanpa pernah bertanya bagaimana keadaannya. Si bungsu memang selalu menurut apa yang saya arahkan meskipun ia suka memberikan komentar yang berlawanan. Tetapi ujung-ujungnya ia pasti menurut.

Tanganmu luka tak kau rasa, lututmu seperti berkerak karena latihanmu. Semoga  usahamu memberikan hasil untuk masa depanmu yang lebih tertata. 

Semoga doa dalam sujudmu diijabah Allah SWT dan ridha Allah SWT selalu ada buatmu, duhai  penyejuk pandangan ibu dan ayah.

Lombok, 9 Nopember 2020.

Komentar