Bertanyalah pada Orang yang Sudah Kembali

Oleh Nuraini Ahwan.

"Bertanyalah pada orang yang sudah kembali"

Kalimat di atas,  diucapkan oleh seorang narasumber pada sebuah diklat. Saya lupa, diklat apa yang saya ikuti waktu itu. Kalimat yang penuh makna. Seorang narasumber yang tidak menggurui, tidak menceramahi dan tidak mendominasi kegiatan. Ia mengatakan kalimat itu, mengumpamakan dia  salah satu orang yang sudah kembali dari suatu tempat. Ia ditugaskan untuk membersamai peserta pada kegiatan itu. Andai ia ditanya jalan ke arah itu, ia pasti bisa jawab dan seseorang yang akan ke sana setelah dirinya tidak akan tersesat.

Orang yang sudah kembali, tentu tahu tentang kebenaran, kemudahan dan hambatan yang dilalui maupun cara mengatasi hembatan.  Termasuk tentang tempat yang akan dituju pun diketahui oleh orang yang sudah kembali dari sana. Bertanya kepada orang yang sudah kembali akan lebih baik daripada  bertanya pada orang yang belum pernah pergi ke tempat yang hendak kita tuju.

Begitulah seharusnya kita, mengetahui dulu caranya, jalannya, ilmunya barulah kita melakukannya jika mau apa yang kita lakukan berjalan lancar dan mulus. Siapa bilang tidak boleh mencoba, bereksprimen dan apalah namanya? Boleh-boleh saja, tetapi paling tidak kita tahu ilmunya dulu, caranya dan jalannya terlebih dahulu untuk memperkecil terjadinya hambatan atau halangan.

Kalimat pembuka tulisan ini menonjok diri saya pagi ini. Saya sok tahu, pergi ke suatu tempat yang diceritakan oleh seorang teman yang pernah pergi ke sana.  Tempat itu katanya menjual ikan laut murah-murah. Tempat pelelangan ikan. Ceritanya sebatas itu saja. Saya tidak bertanya panjang lebar pada teman yang bercerita itu. Saya berjanji saja pada diri sendiri untuk datang ke tempat itu pada suatu saat nanti.

Hari Ahad ini, 14 Maret 2021, saya sudah siap berangkat ke pelelangan ikan. Menjadi seorang pemberani, naik motor sendiri padahal tempatnya lumayan jauh.  Suami yang melihat saya sudah mengenakan jaket, merasa heran saja karena tidak biasanya saya ke pasar memakai jaket. Jaket kulit lagi. Saya ngobrol sebentar bersama suami  lalu minta ijin berangkat. Suami mengiyakan dan memberi ijin saya ke tempat pelelangan ikan tersebut.

Lagi-lagi, vario warna pink yang selalu setia mengantar saya ke mana saja saya pergi. Melaju dengan kecepatan lumayan tinggi karena jalanan masih sepi. Pagi hari Ahad, jalanan hanya dipenuhi pejalan kaki yang hendak olahraga. Ah.........senang melihatnya, bisa olahraga pagi. Tidak dengan diri saya yang pagi buta justru pergi ke pelelangan ikan.

Udara pagi yang sangat dingin seakan menusuk tulang. Jari tangan rasanya kesemutan. Jari tangan kiri yang  tidak memegang gas, saya kepal-kepalkan supaya berasa tidak kesemutan. Lumayan, ...kesemutannya sedikit berkurang. Sementara jari tangan kanan kebagian diistirahatkan dan dikepal-kepalkan di lampu merah. Lumayan juga, jari tangan kanan dan tangan kiri sudah sama-sama dapat dirileksasi sebentar sehingga kesemutannya menghilang.

Setiba di pelelangan ikan, suasananya masih sangat ramai. Merasa heran? Pasti, karena saya pertama kali ke pelelangan ikan. Selama ini, saya membeli ikan segar di pasar tradisional. Kebetulan tempat tinggal saya tidak jauh dari pasar tradisional terbesar di pulau Lombok. Jaraknya dari rumah bisa di tempuh dengan jalan kaki saja.

Di tempat pelelangan ikan, ikan sangat banyak dengan berbagai ukuran dan berbagai jenis. Dari ikan kecil sampai ikan besar. Tidak hanya ikan tetapi berbagai jenis isi laut juga ada seperti cumi, kerang, udang dan lain sebagainya. Semua dijajakkan di atas terpal yang digelar di lapak-lapak pedagang, di dalam box, dan di bak-bak kecil.

Saya berkeliling melihat-lihat terlebih dahulu. Dari ujung ke ujung sambil mendengar orang yang menawar. Saya bermaksud ikut membeli berdasarkan hasil penawaran orang lain. Jujur saja,....dalam hal tawar menawar di pasar, saya bukan ahlinya.  Sepintas saya mendengar orang menawar satu ekor ikan dan tak ditanggapi oleh pedagang karena penawaran kurang Rp 2.000,00 dari harga pedagang. Saya yang berani dengan harga tersebut langsung diambilkan ikan oleh pedagang dan dengan cekatan ikan itu sudah diletakkan di atas timbangan. 

Di luar dugaan, ternyata penawaran orang tadi perkilo, sementara saya berpikir  penawaran itu untuk satu ekor. Wow....murah sekali, batin saya berucap. Karena salah duga, maka saya  dengan sedikit menyesal dan malu, membatalkan pembelian satu ekor ikan. 
"Saya kira untuk harga satu ekor. Ma.af saya tidak jadi membeli, Bu."ujar saya pada pedagang itu. 

Saya mencari di tempat lain.  Saya baru tahu, di tempat pelelangan ikan, hitungannya perkilo, per-box atau per-bak. Tidak seperti pasar tradisional di dekat rumah,l, bisa membeli dengan hitungan per-ekor.

Bagaimana dengan pasar tradisional di tempat pembaca? Ataukah pembaca tidak pernah lagi ke pasar tradisional setelah banyak swalayan-swalayan bak jamur di musim hujan.

Pengalaman baru juga ketika melihat banyak orang membawa ikannya ke pinggiran pelelangan. Ternyata mereka menemui jasa pembersih ikan. Saya ikut berdiri di samping orang yang sedang dibersihkan ikannya. Saya tidak bertanya, tetapi saya memperhatikan berapa bayar jasa pembersih ikan tersebut. Saya menyerahkan 1 ikan besar yang saya beli. Saya tunggu sampai selesai dibersihkan dan dipotong sesuai selera. Saya membayar jasa pembersih ikan untuk 1 ekor dengan uang Rp 10.000,00.

Pengalaman baru dan mendapat ikan segar dengan harga yang lebih rendah dari pasar yang biasa saya kunjungi.

Refleksi diri,
Mau membuat RPP, bertanyalah pada orang yang sudah membuat RPP
Mau memasak  gudeg, bertanyalah pada orang yang sudah memasak gudeg
Mau menulis pentigraf, bertanyalah pada oramg yang sudah menulis pentigraf
Mau menulis, bertanyalah kepada orang yang pernah menulis..

Juga hari ini ...
Seandainya saya bertanya banyak pada teman yang sudah datang  ke pelelangan ikan itu, tentu saja saya tidak seperti rusa masuk kampung.

Lombok, 14 Maret 2021

Komentar