Sehari Yang Tak Terlupakan
Oleh Nuraini Ahwan.
Kamis, 11 Februari 2021, hari yang tak terlupakan bagiku. Saya menulis semua yang terjadi di hari itu. Mulai dari aktivitas rutin secara kedinasan sampai pada peristiwa yang membuat hati berbalut luka.
Melangkahkan kaki di pagi itu dengan sekian rencana yang sudah disiapkan dari awal. Memikul ransel yang ringan tanpa ada lattop di dalamnya seperti biasanya. Ransel kosong yang tak membuat punggung nyaris bungkuk seperti setiap harinya. Ini sengaja saya lakukan pagi itu mengingat ada rencana berikutnya setelah ke sekolah.
Mendengar jawaban putri sulung malam itu, saya pun merencanakan untuk pergi ke rumah ibu keesokan hari. Kakak dirawat ddi rumah ibu dengan pertimbangan banyak keluarga yang akan mengurusnya. . Ia di bawa pulang sejak sakit sekitar satu minggu. Suaminya turut serta ikut ke rumah ibu.
Tidak banyak yang bisa saya kerjakan di sekolah hari itu. Hanya sebentar berada di sekolah langsung berangkat ke rumah ibu dengan membawa nasi kuning. Kakak terbaring lemah hari itu. Ia masih bisa mengenali siapa saja yang berada didekatnya. Saya menyuapinya nasi kuning. Kecil sekali ia membuka mulutnya. Itu pun hanya beberapa butir nasi kuning yang masuk. Hanya nasi yang ada di ujung sendok yang dihabiskan. Itu pun sangat lama. Pelan- pelan ia mengunyah. Sepertinya keadaannya semakin melemah.
Karena keadaan lemah seperti itu, maka adik yang paling kecil meminta sepupu yang bekerja sebagai perawat untuk memasangkan infus pada kakak. Hanya bertahan sekitar 3 sampai 4 jam infus di tangan kakak. Ia tampak kesakitan dan seperti meminta infus dilepas. Tapi ia tak mampu berkata-kata. Hanya gerakan tangan saja sebagai isyarat. Tangannya dihentak-hentakkan seakan ia tidak menerima kalau tangannya ditusuk jarum suntik.
Putri bungsu yang sudah mengetahui kondisi inaqnya, langsung pulang dari kantor ke rumah neneknya.
Hanya sebentar saja di rumah, saya mendapat telpon dari si sulunh bahwa kakak semakin melemah.
Saya segera balik bersama suami dan anak sulungku setelah sholat magrib. Jarak sekitar 10 km menuju rumah ibu ditempuh dalam waktu yang singkat. Di sana sudah banyak orang yang sudah melantunkan surah yasin.
Tangis keluarga pun tak bisa ditahan. Botol infus masih digantung. Kakak tetap memberi isyarat ingin dilepaskan dari derita infus. Keluarga meminta persetujuan saya untuk melepaskan infus. Saya takut, jangan sampai karena infus kakak dilepas, ia langsung pergi. Tapi membiarkan infus di tangan jangan-jangan hanya menyiksa kakak. Perasaan campur aduk memenuhi pikiran saya saat itu.
Tak pernah saya berpindah dari sisi kakak kecuali untuk sholat. Demikian juga dengan si bungsu saya yang memegang terus tangan kiri dan si sulung memegang tangan kanan inaqnya (ibunya atau kakak saya).
Malam semakin larut. Setiap perubahan pada kakak tak luput dari pengawasan saya. Mulai dari kaki yang sudah tak bergerak lagi. Melihat kaki yang tak ada gerak sama sekali, pikiran saya sudah tak karuan. Saya akhirnya mengizinkan untuk lepas infus. Begitu siksaan infus tidak ada, tangan kakak sudah tak meronta lagi. Diam.......tak bergerak.
Pandangan saya berlanjut ke napas kakak. Turun naik sangat cepat seperti orang yang berlari jauh. Napas di perut dan dada semakin cepat. Saya meminta si bungsu pindah tempat duduknya, saya yang menggantikannya duduk di samping kakak.
Surah Yasin terus dibaca oleh adik-adik, ipar dan ponaan. Melihat keadaan kakak yang semakin melemah, itu tak saya biarkan adik-adik dan ibu tertidur hingga nyaris semalam suntuk kami terjaga.
Tangan kakak tetap saya genggam. Saya terus menghitung denyut nadinya sambil melihat napas di perut dan dada yang semakin cepat. Tidak ada satu pun anggota tubuh yang bergerak. Tidak ada respon sedikit pun. Harapan kami keajaiban akan ada untuk kesembuhan kakak.
Saya hidupkan stopwatch yang ada dihandphone untuk menghitung turun naiknya gerakan napas yang terlihat di dada. Menghitung jumlah detak jantungnya permenit. Seperti itu yang saya lakukan sebelum almarhumah adik meninggal karena sakit beberapa tahun yang lalu.
Semakin berkurang jumlah detak jantung kakak setiap hitungan menit. Mulai dari 69 denyutan setiap menit, turun menjadi 65, 64 dan berkurang terus. Saya kuatkan hati dan terus terjaga meski malam bertambah larut. Ya Allah, seperti ini dulu ketika detik-detik terakhir adik dipanggil Sang Pemilik Hidup.
Saya berdiri sejenak dan meminta ibu duduk di samping kakak. Saya mengambil air wudu untuk sholat malam, berdoa untuk kebaikan kakakku. Berdoa kepada Alla SWT, "Jika memang Engkau memberikan umur panjang, maka sembuhkanlah Ya Allah, jika tidak, dan Engkau lebih sayang pada kakak, maka kami iklhas Engkau mengambilnya Ya Allah.
Menjelang sholat witir, ibu memanggil dan meminta saya untuk memimpin adik-adik, ipar dan ponaan membaca kembali Surah Yasin. Saya mendekat dan duduk di belakang ibu dan keluarga yang duduk mengelilingi kakak. Sesekali saya kembali melihat napas kakak yang turun naik tidak ada lagi di perut. Napasnya sudah naik ke dada. Saya melanjutkan membaca surah Yasin, sesekali menyeka bulir-bulir bening menerabas pipi. Hidung pun mulai tersumbat. Bacaan Surah Yasin terbata-bata.
Saya menangis melihat napas kakak sudah tidak lagi di dada, tidak lagi di leher, tetapi napas kakak saat itu hanya terlihat di mulut saja. Lemah sekali, dan semakin melemah. Saya tidak lagi melihat stopwtch yang di handphone. Napas yang tinggal di mulut menjadi pertanda bahwa kakak sudah lemah sekali.
Bersamaan dengan bacaan Surah Yasin selesai, tangis keluarga yang menunggu pecah. Ternyata napas kakak terhenti seiring dengan bacaan Surah Yasin. Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun. Tak lama berselang, napas kakak kembali. Seketika suara tangis diganti dengan ucapan Alhamdulillah.
Kami tetap melanjutkan Surah Yasin sampai selesai. Pukul 03.00 dini hari Jum'at kakak pergi menghadap Yang Maha Kuasa.
Apakah saya menangis?
Sehari bersamamu kakak, tak terlupakan. Bagaikan mimpi, begitu cepat kakak dipanggil Sang Pemilik Hidup.
Lombok, 23 Februari 2021
Komentar
Posting Komentar