Ibu, Intan Mau Nasi Kuning

 Oleh Nuraini Ahwan

Wajah imut-imut, tubuh mungil terlihat lincah berlarian di lapangan dekat rumahnya sore itu. Baju berwarna fink terlihat senada dengan bando yang menghias di kepalanya. Sepatu cantik juga tampak seperti sepatu cinderella dalam dongeng. Ia adalah belahan jiwa orang tuanya sekaligus penyejuk pandangan orang tuanya setiap hari. 

Dia adalah Intan putri pertama dari pasangan seorang ibu guru dengan sseorang Tentara Nasional Indoneia Angkatan Darat. 

Sore itu, Intan sudah siap dengan baju barunya seperti mau lebaran saja. Ia sudah didandani terlebih dahulu oleh ibunya. Bedanya hari itu Intan menggunakan pakaian seperti cinderella dalam dongeng. Ini artinya pakaian yang dikenakannya adalah pakaian ulang tahun. 

Ibunya tidak tampak mendampinginya berlarian  di lapangan. Ibunya bisa sesekali mengontrolnya dari balik jendela. Lagi pula sore itu banyak anak lainnya yang bermain di bawah pengawasan ayahnya seperti biasanya. Para ayah ada yang bermain voli dan  ada juga anggota keluarga dari tetangga yang berada di lapangan. Cukup menitipkan sebentar pada mereka. Seperti itulah setiap sore kehidupan di asrama. Intan lahir dari ayah yang seorang prajurit TNI, maka Intan tumbuh dan dibesarkan di lingkungan asrama. 

Sore itu, Intan akan diajak menghadiri  undangan ulang tahun di asrama. Hari ulang tahun putra dari seorang kawan di asrama. Yang namanya anak-anak, mendengar akan pergi ulang tahun, pasti merasa sangat senang. Tak sabar ingin segera berangkat. Berkali-kali  ia mengajak ibunya untuk berangkat. Ia tak mengerti bahwa ibunya belum siap. Ibunya belum mandi dan harus berganti pakaian. Lagi pula acaranya masih lama dan tempatnya tidak jauh. Untuk sampai di tempat acara cukup berjalan kaki. 

Pakian harus sopan dan rapi. Hidup di asrama penuh aturan. Keluar masuk asrama juga ada aturannya. Misalnya masuk pintu gerbang asrama, tidak boleh memakai kaca mata hitam, jika ibu-ibu dibonceng, tidak boleh duduk seperti duduk orang laki. Harus duduk sepeti duduk di kursi. Begitu kata ayahnya Intan ketika mengingatkan ibunya jika akan masuk asrama setelah bepergian. Jika ibu-ibu keluar asrama juga harus ijin dulu dipiket. Seperti itulah kehidupan asrama ketika Intan masih kecil. Entah saat ini sudah berubah atau belum. Mungkin di asrama yang lain berbeda. 

Undangan ulang tahun  sore itu pukul 16.00 wita. Ibu Intan sudah selesai mandi dan ganti pakaian. Ia segera berangkat. Lokasi ulang tahun tidak jauh dari rumahnya. Jadi ketika jam dinding warna merah pemberian seorang kawan waktu acara resepsi pernikahannya menunjukkan pukul 116.00 wita, ia segera keluar rumah dan memanggil Intan dari jauh. Mendengar panggilan ibunya, Intan segera berlari mendekat. Sekejap saja,  Intan sudah pindah ke gendongan ibunya. 

Suasana ulang tahun di mana pun cendrung sama. Dipenuhi oleh balon warna warni yang sungguh menarik perhatian anak-anak. Balon yang digantung sana-sini memenuhi ruangan ulang tahun membuat anak-anak menjadi senang. Ada anak yang hanya mendongak melihat balo dan ada juga yang mencoba menarik balon tersebut. Tidak jarang ada anak yang menangis mau diambilkan balon atau nasi kuning yang sudah dipajang di meja sajian. 

Kue tar juga  mencuri perhatian anak-anak. Semakin lama acara dimulai semakin kualahan dan kehabisan akal para ibu yang mengantar anaknya untuk menahan keinginan anaknya. Ada yang menunjuk kue tar, ada yang menunjuk balon dan ada juga yang menunjuk nasi kuning saat itu. Tak terkecuali Intan. Ia menangis mau diambilkan nasi kuning. Tangannya menunjuk-nunjuk nasi kuning. " Nasi kuning, Ibu. Nasi Kuning, Ibu." ucap Intan

Karena ibunya tak menuruti keinginanya, Intan menangis. Semakin diberi pengertian oleh ibunya, tangisnya semakin kencang. Ya,...namanya anak usia 2 tahun 8 bulan saat itu, sangat sulit diberi pengertian. Mau minta duluan tidak memungkinkan karena acara belum mulai. Tangis Intan semakin menjadi. Ibunya malu pada undangan yang lain. 

Sebenarnya, jika minta satu bungkus saja, In Syaa Allah diberikan. Hanya saja yang ulang tahun adalah putra seorang yang pangkatnya lebih tinggi. Sebut saja seorang perwira. Sementara ayahnya Intan hanya prajurit biasa. Sikap hormat pada yang pangkatnya lebih tinggi sudah merupakan kewajiban dan itu tanpa diperintah. Contoh saja, ketika seorang istri tentara bertemu dengan istri tentara yang suaminya lebih tinggi pangkatnya maka wajib hormat dengan menundukkan kepala sejenak. Itu sudah otomatis dan siap saja dilaksanakan. Tidak ada yang keberatan. Loyalitas pada atasan sangat tinggi dipegang. Itulah sebabnya,  ibunya membiarkan Intan menangis. 

Apa yang terjadi?...

Ibu Intan segera bangkit dari tempat duduknya tanpa sepengetahuan yang punya acara. Intan belum saja menghentikan tangisnya. Ibunya hendak menutup mulut Intan, namun mungkin salah caranya. Bibir Intan berdarah. Ada luka sedikit akibat tangan ibunya yang menutup mulutnya berkali-kali.  Ibunya menyesal dan segera membawa Intan pulang sebelum acara selesai. Akhirnya nasi kuning tidak dapat, jajan tidak dapat dan balon juga tidak dapat. Yang didapat hanya penyesalan saja, sudah membuat mulut anaknya berdarah. 


Lombok, 2 April 2021

Komentar