Untuk Melindungi Intan

 Oleh Nuraini Ahwan. 

Ada apa dengan Intan kecilku pagi ini? Lahir dari pasangan ayah dan ibu yang sama-sama menjadi abdi negara tentu membutuhkan pengasuh di rumahnya selama ibu dan ayahnya bekerja. Tetapi tidak dengan Intan di masa kecilnya. Lalu siapa yang menjaga dan mengasuhnya setiap hari sampai ibunya pulang kerja? 

Setiap pagi, Intan kecil bahkan sejak bayi merah selalu ikut bangun di pagi buta. Ia tak mengerti apa-apa. Di pagi buta itu ia sudah harus siap meskipun masih terpejam. Ia tidak mandi, cukup ganti popok saja. Ia juga harus ikut berangkat mengikuti ibunya yang berangkat bekerja. Ia bersama ibunya ke tempat penitipan. 

Begitulah setiap hari, berangkat pagi dan pulang siang dijemput ibunya ketika ibunya pulang bekerja? Apakah mengendarai mobil? Tidak! Motor honda supra selalu setia menemani. Setiap pagi selendang sudah disiapkan oleh sang ayah. Begitu sudah siap, ayah mengikatkan selendang di pundak ibunya. Lalu Intan digendong ibu meluncur menggunakan sepeda motor yang sudah siap terparkir di depan rumah. Begitu setiap hari? 

Intan dititip di salah satu keluarga yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari asrama. Dia adalah budenya. Budenya tak dibayar, tak digaji sama sekali seperti asisten rumah tangga. Ia mengasuh Intan layaknya anak sendiri karena ia tak punya anak bayi atau anak kecil. Intan pun dibiasakan memanggil budenya dengan panggilan Inak (bahasa Sasak yang artinya ibu)

Mengapa tidak mengambil pengasuh atau asisten rumah tangga saja? Jawabannya panjang, antara lain, karena pertimbangan saat itu rumah tangga masih baru dan keadaan masih tertatih-tatih secara ekonomi dan kekhawatiran juga jika sang buah hati dirawat oleh orang lain. Maka ayah dan ibu Intan lebih memilih keluarga untuk merawatnya. 

Ada kenangan yang tak bisa dilupakan oleh ibunya Intan ketika di suatu pagi ia berangkat sekolah bersama Intan. Pagi itu cuaca agak mendung tetapi belum ada pertanda akan segera turun hujan. Antara mendung dan gelap tak bisa dibedakan pagi itu. Sepeda motor supra telah membawa Intan dan ibunya ke tempat Inak Intan. 

Tiba-tiba di tengah perjalanan, belum sampai jauh dari rumah, hujan turun sangat lebat disertai angin kencang. Ibu Intan kebingungan harus bagaimana. Jas hujan tidak dibawa. Rumah di sekitar itu hanya satu. Itu pun rumah orang yang tak dikenalanya. Mau berteduh di bawah pohon juga tetap basah. Ia menghentikan sepeda motornya di satu-satunya rumah yang ada itu. Ia mendekap Intan sambil melindungi tubuh putri kecilnya dengan badannya. 

Ia menuju gerbang rumah yang entah penghuninya ada di mana. Jarak gerbang dengan pemilik rumah memang lumayan jauh. Halamannya luas. Ibu Intan berteriak memanggil-manggil pemilik rumah sambil mengoyang-goyangkan gerbang yang terbuat dari besi. Seperti orang demo, begitu. 

Ia terus memanggil-manggil pemilik rumah. "Tolong.!... Tolong!, Saya numpang berteduh. Saya bawa anak kecil. Tolong!.... Bukakan gerbang! "teriak ibu Intan lirih. 

Tak satu pun anggota keluarga dari pemilik rumah yang keluar membukakan gerbang. Mungkin karena hujan lebat disertai angin kencang, menyebabkan mereka tak mau keluar rumah. Ada rasa kesal dalam hati ibu Intan saat itu. Ia berburuk sangka. Dalam pikirnya, ia mengatakan bahwa pemilik  rumah ini sungguh tega, pelit dan segala macam cap yang diarahkan pada segenap pemilik rumah ini. 

Karena kebingungan, maka ibu Intan melakukan apa saja yang menurutnya baik demi menyelamatkan putrinya. Ia memperhatikan gembok yang tergantung di gerbang. Ternyata gerbang tidak dikunci atau tidak digembok. Ia memberanikan diri menggeser gerbang yang arah bukanya ke samping. 

Alhamdulillah, gerbang terbuka. Ibu Intan segera berlari ke teras rumah. Tak disangka di sana ada anjing menuju ke arahnya. Ia kembali berteriak. "Tolong! Saya numpang berteduh. Tolong! Ada anjing. " Ibu Intan tetap berdiri di pinggir teras. Ia tak disuruh naik oleh pemilik rumah yang saat itu keluar membuka pintu rumahnya. Mungkin karena melihat ibu Intan basah dan takut teras rumahnya becek. Sungguh tega.... 

Hanya berdiri dipinggir teras, sekedar berlindung dari hujan. Intan kecil tetap berada dalam dekapan ibunya. Sesekali ia mengusap air yang jatuh dari helm ke muka putrinya. Tetap berdiri menunggu hujan reda. Mungkin karena lumayan lama berdiri, pemilik rumah mempersilahkannya masuk atau naik ke teras. Meskipun dipersilahkan masuk, tetap saja berdiri di pinggir teras karena sepatu basah. 

Hujan pun reda,  Ibu Intan pamit kepada pemilik rumah, untuk melanjutkan perjalanannya. Ia berterima kasih dan minta maaf karena masuk lingkungan rumah tanpa ijin. Ia membuka gerbang sendiri sebelum pemilik rumah mengijinkan. 

Begitulah Intan di masa kecil. Rumah tempat numpang berteduh hingga saat ini masih berdiri sebagai saksi bahwa Intan yang sekarang pernah punya kisah dengan rumah itu. 

Bertanya, kemana ayahnya Intan? Mengapa tidak ia saja yang mengantar putrinya ke tempat budenya/inaknya? Ayahnya seorang TNI yang apel pagi jam 06.00 wita.  Jadi untuk antar jemput putri mereka diserahkan pada istri. Ini sudah kesepakatan dan tidak ada yang saling keberatan. 


Lombok, 3 April 2021

Komentar

  1. Perjuangan istri seorang abdi negara memang luar biasa ...
    Kenangan yg tak terlupakan

    BalasHapus
  2. Luar biasa perjuangannya. Menjadi istri seorang prajurit harus siap sedia ditinggal suami kapan saja.

    BalasHapus

Posting Komentar